• Home
  • Music
  • Work & Values
  • MarComm & Branding
  • Travel
  • Books

Blog Penny Hutabarat

Be Resourceful Without Resources

01.36

Minim atau kurangnya sumber daya (resources) bukanlah alasan untuk menunda memulai sesuatu. Kita bisa belajar hal ini dari perusahaan/ brand atau start up yang berhasil, dan mereka memulainya dengan sumber daya yang terbatas. Jeff Bezos (Amazon.com), Steve Jobs (Apple), Mark Zukerberg (Facebook) adalah beberapa dari sekian entrepreneur yang memulai bisnisnya dengan resources yang terbatas. Mereka memulainya dari garasi, gudang dan kamar sebagai kantor tempat mereka membangun brand besar yang kini kita kenal. Mereka memulainya dengan tim dan staf yang terbatas, bahkan dana terbatas. Keunggulan mereka terletak pada keyakinan besar akan sumber daya (resources) yang mereka miliki, meski itu terbatas. 

~ Almost all of the successful brands, began with few resources 

Kisah keberhasilan Amazon.com, Facebook, Apple, mungkin sudah sering kita dengar. Namun, ada sesuatu yang inspiratif dan berbeda dari perjalanan entrepreneurial sebuah brand sepatu bernama TOMS, yang pernah dibagikan oleh Blake Mycoskie, founder TOMS, lewat bukunya "Start Something That Matters". Salah satu insight menarik yang akan menjadi highlight dalam tulisan kali ini adalah tentang work value nya: Be resourceful without resources!




Dari sekian usaha yang dirintis Blake Mycoskie, brand TOMS adalah satu-satunya yang paling berhasil. TOMS bukan sekedar brand sepatu seperti kebanyakan, ia punya kekuatan storytelling yang autentik dan tak sekedar mendulang profit dari sisi bisnis tapi sejak awal TOMS merupakan brand yang menunjukkan kepedulian sosialnya secara langsung di setiap penjualan produknya. 

image from: http://yanieyanson.com
Brand ini berhasil membangun sesuatu yang unique & difference, tapi juga relevan. Blake Mycoskie terinspirasi untuk memproduksi sepatu bermodel alpargata (casual canvas shoes) yang ia lihat banyak digunakan oleh orang-orang Argentina, saat ia liburan dan berkunjung ke Argentina. Hampir semua orang di kota, di desa bahkan di restoran-restoran Argentina menggunakan sepatu jenis canvas yang jarang ditemukannya di Amerika. Tapi penggerak terbesarnya untuk memulai usaha sepatu adalah ketika melihat kelompok relawan yang mengumpulkan donasi untuk kebutuhan sepatu anak-anak. Banyak anak-anak di desa-desa di Argentina yang "telanjang kaki"....tidak memiliki sepatu...dan ini berdampak pada masalah kesehatan. Ia melihat secara langsung bagaimana anak-anak tidak mengenakan alas kaki dan mudah mengalami infeksi karena tidak dapat melindungi kaki mereka. 

image from: http://toms.com
Ide awalnya adalah memulai shoe-based charity yakni amal untuk kebutuhan sepatu. Blake melihat apabila hal ini hanyalah sebuah gerakan amal, mungkin tidak akan bertahan lama dan tidak akan berdampak long-term. Sehingga muncul solusi dengan menciptakan for-profit business yang dapat membantu menyediakan kebutuhan sepatu untuk anak-anak. Sehingga tidak hanya bergantung pada donasi yang mungkin datang, tetapi membuat solusi agar ada constant flow of shoes untuk anak-anak yang membutuhkan. Dengan kata lain, solusinya adalah entrepreneurship. Konsep sederhana yang dibuatnya adalah sell a pair of shoes today, give a pair of shoes tomorrow. Setiap sepasang sepatu yang terjual, berarti akan ada sepasang sepatu untuk dibagikan pada anak-anak yang membutuhkan. Target awal dari donasi sepatu yang dilakukannya adalah untuk anak-anak di desa yang bertelanjang kaki di Argentina. Selanjutnya meluas hingga pelosok-pelosok di negara lainnya. Bisnis yang dibangunnya tak sekedar mengejar profit, tapi ia menyadari harus ada nilai bermakna yang dapat ia lakukan bagi sekelilingnya. Dan hal itu dimulainya dengan giving shoes dari setiap penjualan sepatu TOMS. Sederhana tapi bermakna. 

TOM menjadi nama dari brand sepatu besar yang kini banyak dikenal orang-orang di dunia. Dimulai dengan prinsip berbagi "TOMorrow's Shoes", brand ini  memberikan promise: "a better tomorrow!". Yang menarik adalah Blake, pendiri TOM Shoes, sama sekali tidak punya pengalaman pada bisnis sepatu sebelumnya, tidak punya koneksi pada bisnis ini. Ia memulai dengan keterbatasan resources yang dimilikinya. Ia mencari pengrajin sepatu lokal, memberikan contoh-contoh desain menarik yang menurutnya akan disukai oleh market di Amerika. Ia meyakini bahwa model sepatu yang begitu disukai masyarakat Argentina dan digunakan mereka sehari-hari ini pastilah akan menarik perhatian konsumen di Amerika karena belum pernah ada yang terpikir sebelumnya untuk "membawa" sepatu ini overseas atau ke negara lain di luar Argentina. TOMS Story ini terus dibagikan oleh Blake setiap kali ia berdiskusi dengan orang-orang maupun dengan calon mitra-nya. Sehingga story ini juga menjadi daya tarik yang autentik bagi pers dan media untuk mengangkat perjalanan brand TOMS.

Story, mission dan movement menjadi kekuatan dari brand ini. Story yang autentik dan contribute something to people in need. Blake mengakui bahwa keterbatasan resources dalam memulai TOM shoes adalah salah satu faktor keberhasilannya. Di beberapa tahun memulai TOM shoes, dana yang dimiliki sangat terbatas, jumlah staff terbatas (4 orang dan sebagian besar diantaranya adalah internship staf), ruang yang terbatas- yang digunakan sebagai kantor tempat aktivitas TOM shoes. 

~ Being comfortable can hurt your creative entrepreneurial spirit

Perusahaan yang dimulai dengan overfunded, cenderung lebih rentan dan mudah goyah daripada perusahaan yang underfunded. Mike Maples, venture capitalist di Silicon Valley, pernah menyebutkan bahwa "too much money, isn't only unnecessary, but also toxic". Salah satu contoh yakni eToys, perusahaan yang mulai dengan dana besar dan menghabiskan jumlah yang besar untuk advertising & marketing. Sayangnya tahun 2001 eToys bankrut, dan kemudian bangkit kembali dibawah kepemilikan yang baru. Sementara Amazon.com, Toys "R" Us dan Walmart berhasil memasuki online toy business dan market-nya bertumbuh luar biasa. 

Terbatasnya resources  di awal justru seringkali membuat tim bekerja sebaik mungkin dalam setiap apa yang dikerjakan. Make the best of  what you have. Keterbatasan tersebut justru membuat kita menjadi lebih bertanggungjawab terhadap waktu, staf, dana. Begitupula menjadi lebih fokus pada partnership.

~ Without resources, you will need a lot of other people's help, and the best way to get that help is to stand for something bigger than just yourself and your business.  

Jadi, jangan takut memulai sesuatu yang kamu yakini, meskipun resources terbatas. Kalau kamu saat ini sedang memulai usaha ataupun start up yang kamu impikan dan menjadi passion kamu, jangan menunggu sampai semua sempurna baru memulainya. Start now, with what you have.  You just have to make magic every day!




PH 30.01.19

*)  Be Resourceful without Resources adalah salah satu insight yang saya dapatkan saat membaca buku Start Something Matters (Blake Mycoskie). Teman-teman bisa membaca tulisan saya tentang insight menarik lainnya dari buku ini, disini:
- Find Your Story
- Keep it Simple
- Face Your Fears







Share This Story

Tags: book that have inspired me, entrepreneurship, inspirasi, start up
Posting Lebih Baru Posting Lama
Penny Hutabarat Special Spark

Penny Hutabarat adalah seorang musicpreneur, singer, songwriter, dan public relations

You Might Also Like

0 komentar

Newer
Stories
Older
Stories

Singer-Songwriter


Indonesian singer-songwriter, Public relations, Musicpreneur.
Debut Album "Bountiful Eyes" (Itunes, Spotify, Physical CD).
-- pennyhutabarat.official@gmail.com
http://pennyhutabarat.com
--


Blog ini berbagi tentang music, life & muses, work, travel dan books.
"Whatever your Dream is, Make It Happen!"

Top Article

Waktu = Nilai Hidup, Kesempatan dan Catatan Perjalanan

W aktu adalah tentang nilai hidup.  Tentu kita mengetahui betapa pentingnya waktu, namun seringkali kita mengabaikan dan melupakannya. Ada...

Blog Archive

  • ►  2021 (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  April (3)
  • ►  2020 (3)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Januari (1)
  • ▼  2019 (8)
    • ►  Desember (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (3)
    • ▼  Januari (1)
      • Be Resourceful Without Resources
  • ►  2018 (14)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Februari (4)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2017 (14)
    • ►  Desember (2)
    • ►  November (4)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (3)
    • ►  Februari (1)
  • ►  2016 (40)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (8)
    • ►  Januari (8)
  • ►  2015 (37)
    • ►  Desember (5)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (3)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juli (7)
    • ►  Juni (4)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (2)
  • ►  2014 (22)
    • ►  Desember (3)
    • ►  Agustus (4)
    • ►  Juli (3)
    • ►  Juni (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  April (2)
    • ►  Maret (6)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2013 (27)
    • ►  Desember (10)
    • ►  September (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (8)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2012 (5)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2011 (5)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2010 (10)
    • ►  Agustus (1)
    • ►  Juli (2)
    • ►  Mei (1)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (18)
    • ►  Desember (2)
    • ►  Oktober (6)
    • ►  September (3)
    • ►  Agustus (7)

trazy

trazy.com

Labels

  • Vocademia UI
  • bountiful eyes
  • buku
  • dreams
  • festival menyanyi
  • focus
  • impian
  • independent musician
  • kolaborasi
  • make it happen
  • menulis
  • mini album
  • musik
  • passion
  • perjalanan
  • seoul
  • simplicity

Instagram

Template Created By : ThemeXpose . All Rights Reserved.

Back to top