Kendi-Kendi Berkat
20.45
Pukul 08.00 pagi aku berangkat menuju ke kampus. Meski ku tau aku akan terlambat sampai di kampus, aku memutuskan untuk tetap berjalan kaki dari pintu masuk kampus menuju fakultas yang jauhnya kurang lebih 200meter.
Orang –orang biasanya menyebut jalan kecil tempat mahasiswa berjalan menuju kampus itu adalah Kober. Aku senang berjalan sambil memandang sekelilingku. Banyak tukang jualan dipinggir jalan Kober itu, bahkan pengemis yang hampir setiap pagi ku temui ada disana.
Tapi hari ini berbeda, sesuatu menyentuh hatiku.
Tepat 5 meter di depan mataku aku melihat seorang Bapak berkulit gelap dan bertubuh gemuk juga besar berjalan dengan nafas yang terengah-engah. Gerakannya mulai menunjukkan kalau sepertinya tubuhnya mulai tumbang dan rubuh ke tanah.
Bapak itu berjalan semakin dekat ke arahku dan aku mulai melihat ternyata barang yang ia pikul adalah kendi-kendi tanah liat. Ia memikul kendi itu dengan tongkat kayu di pundaknya dan sejumlah besar kendi dalam 2 keranjang besar yang dipikulnya.
Hatiku terasa menitikkan air mata saat itu, bagaimana tidak?, seorang bapak dengan kendi dagangannya yang berpapasan denganku hingga kulihat betul raut wajahnya yang lelah dan suara nafasnya yang terengah-engah. Hatiku berbicara “betapa sulitnya bapak kendi itu untuk mendapatkan nafkah dan sesuap nasi, ia pikul kendi tanah liat yang berkilo-kilo beratnya, ia terengah engah di jalan, mencoba mengatur nafasnya, bahkan hampir rubuh tubuhnya”.
Saat itu, diletakkannya kendi dagangan yang ia pikul di pinggir kanan jalanan kecil Kober. Lalu ia terduduk di depan toko kecil dekat dengan dagangan pikulannya. Karena begitu banyak orang yang berjalan di Kober itu, aku hanya bisa menyimpan rasa iba dan prihatin dari apa yang kulihat dalam hatiku. Aku tak tau, apa mungkin kendi itu juga hasil buatan tangannya sendiri yang ia buat lalu ia jual sendiri. Aku pun berpikir, mungkinkah di zaman modern ini masih banyak orang yang membutuhkan kendi atau paling tidak membeli kendi tanah liatnya.
Yang kulakukan sesaat setelah berpapasan dengan penjual kendi itu adalah aku berbalik dan berjalan ke arah yang berlawanan, aku berjalan menuju warung untuk membeli sebotol air mineral untuk penjual kendi yang kelelahan itu. Tapi tiba-tiba aku mengurung niatku…aku kembali berjalan pelan menuju sang bapak penjual kendi yang sedang duduk untuk megistirahatkan dirinya dan menatapnya sesaat sambil merogoh kantong tasku. Aku memutuskan untuk memberi ia sedikit uang yang kuharap bisa ia pakai untuk membeli makanan dan minuman di tengah kelelahannya memikul kendi itu.
Ia seperti ingin berbicara dan mengucapkan terimakasih dengan nafasnya yang masih terengah-engah dan wajahnya yang terlihat begitu lelah. Aku pun melanjutkan langkah kakiku menuju kampus. Namun perasaan iba di hatiku tetap belum sirna. Tuhan berkatilah sang penjual kendi yang kutemui pagi ini.
Tersirat di pikiranku sesaat sampai di kampus dan terduduk di depan komputerku. Bagaimana mungkin sekian orang begitu mudah menghamburkan uang penghasilan kerjanya atau uang pemberian orangtuanya untuk ber- sour sally-ing di mall menikmati yoghurt ice krim, ber-facebook-ing dan ber-ym-an ria di handphone kesayangannya dan rela membeli berpulsa-pulsa untuk kesenangan dunia maya. Sedang ternyata ironisnya di sekeliling kita sebagian besar orang masih berjuang untuk sesuap nasi. Seperti halnya penjual kendi itu, berjalan dan berjalan terus dengan kendi-kendi “nafkah hidupnya” agar keluarga dan anak-anaknya bisa makan cukup.
Seandainya sebagian dari uang entertainment yang biasa kita gunakan untuk ber-sour sally-ing, menikmati kopi di starbuck/ coffee bean/ illy dengan teman-teman, membeli baju bermerek Zara/Giordano/the Executive, menonton film di Blitz , XXI atau 21 --- dan semua kegiatan hiburan lainnya juga jalan-jalan/ relaxing kita itu. Seandainya sebagian saja dari uang yang kita keluarkan itu, bersama-sama bisa kita bagikan untuk orang-orang disekeliling kita untuk bisa mereka pakai buat kebutuhan makan/ minum, buku-buku, yang bagi sekelompok orang lainnya masih begitu sulit untuk didapat.
Mari kita menghargai setiap kendi-kendi berkat dan rejeki yang kita terima dari Tuhan. Marilah kita melihat “kendi-kendi berkat” yang kita miliki dan yang sudah terisi penuh itu, lalu membagikan setengah atau seperempat dari kendi berkat itu atau bahkan seberapapun semampu kita untuk menolong mereka yang kendi-kendinya masih kosong dan belum terisi.
Terimakasih Tuhan untuk pelajaran kehidupan hari ini.
0 komentar