Perlindungan Hak Cipta di Indonesia! Masih Adakah?
01.18
Di
era digitalisasi saat ini, sangat mudah bagi kita mencari karya lagu/ musik
ataupun software secara gratis. Hanya
dengan klik dan download dalam beberapa detik, kita bisa mendapatkan lagu atau
software yang akan kita konsumsi . CD/ DVD bajakan juga sangat mudah kita temui
dari Glodok Mangga Dua hingga ke pinggiran kota sekalipun.
Di
satu sisi, tentu kita sebagai penikmat lagu ataupun pengguna software merasa
senang dan diuntungkan. Tidak sulit untuk kita mencarinya di internet saat ini.
Namun di sisi lain, para Pencipta Lagu ataupun Pemilik hak terkait, apakah
mereka menerima apa yang menjadi hak mereka? Royalti yang sepatutnya mereka
dapatkan. Bagaimana kesejahteraan mereka atau karya mereka, apakah diakui dan
dihargai?
Dalam
sebuah Seminar Musik yang berlangsung Rabu, 26 September 2012 di Auditorium
Terapung UI, salah satu sessi seminar membahas mengenai pembajakan karya musik di
Indonesia. Hal ini menarik perhatian saya yang memang memiliki ketertarikan
akan dunia musik. Seminar ini menghadirkan salah satu pembicara yaitu Marulam Hutauruk (General Manager
ASIRI – Asosiasi Industri Rekaman Indonesia). Ketika mendengarkan topik ini,
satu hal yang terbersit dan menjadi pertanyaan saya adalah
bagaimana Asosiasi Musik Indonesia berperan dalam mengurus hak-hak para
pencipta lagu. Apakah mereka membangun suatu sistem digitalisasi yang mampu
memantau dan mengontrol penggunaan karya cipta? Seperti di luar negeri
misalnya, apabila karya lagu dibawakan di ranah publik, maka sistem
digitalisasi dapat memantaunya dan menghitung royalty yang harus dibayarkan,
yang tentu menjadi hak pemilik karya cipta. Ini bukan hal sepele karena juga
menyangkut kesejahteraan para pemilik hak cipta (copyright). Apabila hak ini tidak dilindungi, maka bukan tidak
mungkin ada pihak-pihak yang meraup keuntungan dari bisnis musik, seperti kasus
RBT yang sempat muncul ke permukaan beberapa waktu lalu.
Hal
ini menjadi pertanyaan saya dalam sessi tanya jawab seminar tersebut. Dengan
yakin, saudara Marulam, perwakilan ASIRI, menanggapi pertanyaan saya dan menjelaskan bahwa ASIRI sedang dalam
proses membangun sistem digitalisasi tersebut. Sehingga bila suatu hari sebuah
lagu/ karya ciptaan dibawakan di area publik di Indonesia, seperti tempat
Karaoke dll, maka haruslah ada penghitungan royalti yang menjadi hak pencipta
atau pemilik karya cipta tersebut. Menurut beliau, sistem ini belum
dieksekusikan oleh ASIRI, namun sudah dalam tahap pengembangan. “Kendala yang masih terjadi adalah
kesepakatan dari komunitas Musik di Indonesia mengenai prosentase royalty yang
menjadi hak misalnya berapa persen bagi pencipta, lalu produser rekaman dan
pihak terkait lainnya seperti yayasan karya cipta Indonesia” ujar beliau. Semoga sistem yang beliau sampaikan
benar-benar dapat terealisasi di negeri kita ini, sehingga kita dapat semakin
mengapresiasi karya cipta dan para pencipta dapat kian bertumbuh karena hasil
karyanya dihargai.
Menurut
saya, sudah waktunya bagi kita semua untuk mulai menaruh perhatian besar pada
masalah hak cipta di Indonesia. Ini tidak hanya menyangkut kesejahteraan para
pemilik hak cipta tetapi juga apresiasi kita pada pencipta dan karya cipta itu
sendiri. Bagaimana mungkin negara lain bisa lebih menghargai atau bahkan
“merasa memiliki” karya seni milik bangsa Indonesia sendiri , sedangkan kita
masih tidak peduli dan menutup mata terhadap karya seni milik sendiri (?).
Bayangkan,
tingkat pembajakan di Indonesia di tahun 2010 (menurut survey BSA - Business
Software Alliance) mencapai hingga 86% yaitu sekitar Rp 8 triliun. Piracy rates di Indonesia menduduki 8
besar dalam kategori negara dengan tingkat pembajakan tertinggi. Sungguh miris
dan ironis. Mari kita lihat negara Asia lainnya, misalnya Singapore yang diakui
sebagai negara yang paling menghargai hak kekayaan intelektual. Diikuti oleh
Jepang, Hong Kong, Taiwan dan Korea Selatan (survey PERC – Political and
Economic Risk Cosultancy).
Secara
undang-undang, Hak Cipta di Indonesia sudah diatur yaitu pada UU No. 19 Tahun
2002. Disebutkan bahwa pencipta atau pemilik ciptaan memiliki hak eksklusif yang
mencakup hak ekonomi, yaitu hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan.
Selain itu, hak moral yaitu hak agar ciptaan tidak diubah atau dirusak tanpa
persetujuan, dan agar diakui sebagai pencipta suatu karya. Nah, yang menjadi
masalah, apakah aturan ini sudah berjalan secara efektif di Indonesia dan
apakah lembaga atau asosiasi yang melindungi hak cipta sudah menjalankan fungsi
dan perannya secara optimal?
Masalah
hak cipta (copyright) tentu bukanlah
hal yang mudah untuk dibenahi di Indonesia, apalagi tingkat piracy masih cukup tinggi. Kita mungkin
tertinggal dari negara lain yang sudah mengembangkan sistem digitalisasi untuk
perlindungan hak cipta. Namun kita dapat melakukan upaya bersama, melalui
kegiatan edukasi bagi masyarakat, kampanye dan sosialisasi terkait hak cipta.
Sehingga sistem digitalisasi copyright yang
sedang dibangun oleh Asosiasi Musik di Indonesia, pada waktunya akan dapat
diterima oleh masyarakat dan bermanfaat secara optimal untuk melindungi hak
cipta.
0 komentar