Pejuang Terbaik Kami
01.00
Selasa malam, 17 Februari 2015, saya mendengarkan kabar yang seketika membuat wajah saya dibanjiri air mata dan membawa ingatan saya pada almarhum Papa. Kami mendengar kabar bahwa om Andreas Tjan Liang Han telah meninggal dunia. Beliau adalah teman Papa saat berobat di Penang (KL) beberapa bulan lalu.
Berawal dari perjalanan kami membawa papa berobat ke Penang (KL) dan bertemu dengan salah satu dokter ahli cancer, dr. Nelly Chah Lai Chin. Di awal perjalanan kami disana, rasa gelisah dan tak pasti, kami rasakan. Hanya doa pada Tuhan dan support dari keluarga & teman yang bisa menyemangati rasa deg-degan yang tak henti kami rasakan.
Pertama, awal tujuan kami untuk second opinion yakni meng-konfirmasi hasil diagnosa papa di Indonesia. Dalam hati saya berharap, hasil diagnosa di Indonesia bahwa papa stadium 4 adalah keliru. Kedua, ini kali pertama kami pergi ke luar negeri dengan tujuan khusus untuk berobat. Dan di perjalanan awal, kami belum kenal siapa-siapa yang punya pengalaman sakit serupa seperti papa dan yang kami harap juga sedang ada disana.
Memang sebelum berangkat, kami sudah mendapatkan rekomendasi dari saudara tentang dokter terbaik yang akan kami temui. Kami juga sudah mendapatkan informasi dari saudara yang almarhum suaminya pernah mengalami hal yang kurang lebih sama dengan almarhum papa. Kami sekeluarga pun berdiskusi dan menetapkan tekad kami untuk membawa papa menjalani pengobatan terbaik.
Sesampainya disana, kira-kira di awal pertemuan kami dengan dr. Nelly Chah Lai Chin, saya/papa/mama bertemu dengan seorang ayah dan putrinya yang juga sedang duduk di kursi tunggu pasien. Kami sama-sama menunggu giliran bertemu dr. Nelly. Kami pun saling berkenalan. Ayahnya bernama om Aan (Andreas) dan putrinya bernama Tasya. Pribadi yang ramah dan menyenangkan.
Karena senangnya bisa bertemu dengan sesama pasien Indonesia, papa dan mama langsung ngobrol akrab dengan om Aan. Saya berbincang dengan Tasya.
Setelah masing-masing kami konsultasi dengan dr. nelly, papa dan om melanjutkan pembicaraan mereka begitu akrab. Kami anak-anaknya merasa senang karena papa dan om bisa saling bercerita dan berbagi pengalaman mereka masing-masing. Kebetulan om Aan juga mengalami sakit yang hampir sama dengan papa, keduanya menghadapi stadium 4 pada saluran pernafasan mereka. Rasa bahagia bisa bertemu saudara yang senasib disana, makin menyemangati saya dan mama terutama papa. Sosok om Aan menjadi penyemangat papa bahwa ia bisa sembuh. Mengigat om Aan telah lebih dahulu berobat ke Penang dan kondisinya saat itu kian membaik.
Sepanjang waktu kami (papa/mama/saya) di Penang, kami tak hentinya berdoa..ber-saat teduh..dan berbincang-bincang tentang keluarga/saudara bahkan keajaiban kecil yang seringkali kami temukan selama di Penang. Salah satu keajaiban itu adalah bisa bertemu om Aan dan keluarganya. Mereka berbagi pengalaman, informasi dan semangat kepada kami. Keajaiban karena Tuhan tau betul apa yang kami butuhkan. Di saat perasaan campur aduk dalam menantikan hasil pemeriksaan disana, kami seperti rumput layu yang seketika mendapatkan air dan sinar matahari, membuat kami kembali bangkit saat bertemu sesama pasien yang sedang berjuang menghadapi sakit yang sama (om Aan dan keluarganya).
Beberapa kali kami bertemu dengan om Aan dan keluarga, saat saya dan mama menemani papa berobat disana. Suatu pagi, saya jalan kaki dari apartement menuju supermarket untuk membeli telur. Karena kandungan protein yang tinggi, putih telur sangat disarankan untuk pasien kemoterapi. Di dalam hati saya berbicara dan berdoa, seandainya saya bisa ketemu om Aan, dan tasya...saya ingin menanyakan beberapa hal tentang proses pengobatan yang kurang lebih sama akan dijalani papa. Puji Tuhan permohonan hati saya saat jalan kaki pagi itu terkabul. Tiba-tiba saya bertemu lagi dengan om Aan di lobby hospital saat beliau sedang membaca papan informasi di rumah sakit.
Saya seketika semangat kembali dan bertanya sesuatu ke om Aan. Lalu dia me-refer saya ke yakobus (anak tertuanya), yang saat itu saya baru kenal dan langsung menanyakan beberapa hal untuk mendapatkan informasi. Selain saya, papa dan mama juga sering sekali mengingat om Aan dan keluarganya setelah pertemuan singkat kami waktu itu. Apabila ada hal yang kurang kami mengerti, pasti papa akan menyuruh saya untuk "tanya tasya Pen....tanya yakobus...gimana waktu om Aan". Saya menjawab "Iya pa", dan beberapa kali saya sms atau whatsapp mereka. Ada moment dimana saya ingin bertanya banyak hal tapi saya tunda karena takut mengganggu keluarga om Aan yang tentu juga sedang berjuang merawat papa nya yang sakit.
Hingga suatu hari, papa saya lebih dulu dipanggil oleh Tuhan. Tepat satu bulan dari kami menginjakkan kaki di Penang, 11 Oktober. Papa pergi di tanggal 11 November. Suatu kepergian yang begitu mengejutkan bagi kami karena saat itu kami masih punya pengharapan bahwa papa akan sembuh dan kondisinya kian membaik. Selama pengobatannya, tidak pernah kami lihat dia mengeluhkan sakit. Bahkan perjalanan kami di Penang seperti rekreasi dimana kami masih bisa pergi keliling makan bersama dan wisata ke beberapa tempat. Kondisi papa juga terlihat baik. Hingga suatu malam, nafasnya sesak luar biasa dan panas demamnya tinggi sekali. Saya dan mama membawanya ke ICU, waktu rasanya berjalan begitu cepat, hingga ia menghembuskan nafas terakhirnya.
Di tanggal 19 Februari 2015, saat om Aan disemayamkan di Rumah Duka RSPAD Gatot Soebroto, tempat yang sama dimana papa disemayamkan. Disitulah keluarga om Aan dan kami (saya, mama, abang) kembali bertemu dan saling berbincang-bincang. Banyak kenangan selama pertemuan singkat kami beberapa bulan di Penang. Namun kenangan itu tidak terlupakan, karena kami percaya Tuhan mempertemukan kami untuk saling menguatkan satu sama lain. Dari perbincangan ketika melayat ke rumah duka itulah kami juga mengetahui bahwa om Aan juga ter-semangati dengan kehadiran papa saat bertemu di Penang. Tapi kemudian ia drop sesaat setelah mendengar papa pergi lebih dulu.
Yang kami syukuri adalah keajaiban Tuhan atas kami. Mungkin kelihatannya itu keajaiban kecil (small miracles), tapi kami merasakan pertemuan keluarga kami sungguh bermakna. Meski kami akhirnya kehilangan papa - papa yang kami sayangi dan sangat banggakan, tapi kami bersyukur karena kami melihat bahwa papa - papa kami adalah pejuang kanker yang hebat. Mereka telah berjuang sampai garis akhir.
Kisah kami berbeda, keluarga om Aan sempat merawat beberapa bulan sejak mereka tau ayahanda mereka di-vonis cancer. Keluarga kami hanya menjalani 1 (satu) bulan merawat papa sejak kami tau bahwa ia di-diagnosa positif cancer. Tapi kami tetap bersyukur karena Tuhan punya rancangan terbaik untuk setiap kami.
Dan kami percaya, Tuhan mempertemukan kami untuk saling menguatkan.
Trimakasih Tuhan untuk pertemuan kecil kami di beberapa bulan lalu, yang memberikan semangat untuk jiwa yang rapuh. Dan bahkan hingga sekarang kami masih dapat saling berbagi kasih di dalam Tuhan. Berkati kami ya Bapa, keluarga yang Tuhan berkati ini, agar kami dapat menjalani hari-hari ke depan dalam pengharapan akan Tuhan. Agar kami diberikan kekuatan dan keteguhan iman.
There's so much to be THANKFUL for. Selamat jalan om Aan, pejuang cancer yang kami kagumi. Selamat berbahagia di Rumah Bapa di Surga bersama Papa Parlinggoman. Kami percaya kalian telah mendapatkan tempat terbaik di Surga karena Tuhan begitu menyayangi kalian.
0 komentar